Selasa, 05 April 2011

CERPEN ^.^

Iseng-iseng.com



Baca ya ^_^




^^Yang Tak Memilih Kita^^



======


     Ketika takdir tak dapat mempertemukan aku dan dia, maka aku hanya mampu menyaksikan takdirnya dengan orang lain. Merubah takdir sama saja merubah garis hidup karenanya aku tak ingin merubah takdirku apalagi takdirnya.



     Deburan sebuah pantai di Jogja adalah backsong yang cukup indah sebagai pengiring tenggelamnya matahari ke peraduannya. Menyisakan segaris warna orange di langit yang mulai menghitam.



     ''aku gak mau melewatkan waktu sedikitpun tanpa kamu Vi'' kata seorang laki-laki tinggi yang mengenggam erat jemari Sivia-Gadisnya yang kini dalam rengkuhannya.

     ''aku sayang kamu'' katanya lagi lalu mengecup kening Sivia.



     Sivia hanya tersenyum. Semoga apa yang dikatakan Gabriel-kekasihnya adalah benar. Tak ada waktu yang terlewati tanpa kisah mereka. Tanpa cinta mereka. Dan semoga saja, itu bukanlah sebuah harapan. Dan semoga, cinta itu berakhir indah.



     Gadis lain dan dalam dekapan lelaki lain yang duduk di samping Sivia dan Gabriel, memandangi sepasang kekasih di sampingnya dengan rasa emm, iri mungkin. Gadis itu tahu, bahwa tak seharusnya rasa iri itu ada karena apa yang diberikan kekasihnya melebihi apapun. Tapi rasa tak pernah dibisa dibohongi.



     ''love you Shill'' kata kekasih Shilla-Gadis itu.



     Shilla mengangguk, tanpa sepatah katapun. Karena dia tahu, jauh dalam hatinya kekasihnya itu bukanlah siapa-siapa. Bukanlah orang yang dengan tulus dia cintai. Kekasihnya adalah media untuk dia bisa terus ada di dekat lelaki pujaannya yang kini tengah mendekap orang yang mungkin sangat dia cintai.



     Shilla menghela nafas panjang. Memperhatikan dua orang di sampingnya. Dua orang sahabatnya dan dua orang yang berarti. Dua orang yang jujur telah menyakitinya.



     ''aku masuk dulu ya Iel'' kata Sivia.

     ''duluan ya Shill, Vin'' pamit Sivia pada Shilla dan Alvin-kekasih Shilla.

     ''aku juga lah. Mau ngambil minum dulu'' kata Alvin.



     Alvin menyusul Sivia yang telah beberapa langkah di depannya. Shilla menghela nafas. Gabriel terlihat mendekatkan tubuhnya ke samping Shilla. Lalu menyenderkan kepalanya di bahu Shilla. Shilla tak menolak. Karena dia sangat menikmati setiap waktu yang dia habiskan bersama Gabriel. Orang yang selama ini diam-diam dia kagumi, yang diam-diam pula telah Shilla cintai. Dan hanya Gabriel, bukan Alvin atau yang lain.



     Sumpah tak ada lagi kesempatanku untuk bisa bersamamu

     Kini ku tahu bagaimana caraku untuk dapat trus denganmu



     Lirih Shilla melantunkan sebuah lagu yang dia pikir tepat dengan isi hatinya kini.



     ''nyanyi lagi Shill'' pinta Gabriel yang masih dalam posisinya, bersender di bahu Shilla.



     Bawalah pergi cintaku

     Ajak kemana engkau mau

    Jadikan temanmu

    Temanmu paling kau cinta



     Shilla berhenti sejenak, menghela nafas pendek. Gabriel mengenggam erat jemari Shilla. Seakan tak ingin melepaskan Shilla. Tak ingin Shilla jauh darinya. Padahal, ada Sivia yang seharusnya dia perlakukan seperti itu. Tapi entahlah, kenapa Gabriel seperti ini pada kekasih sahabatnya itu.



Begitupun Shilla. Semakin dia dekat dengan Gabriel, semakin dia takut kehilangan. Semakin tak kuasa air mata yang selama ini dia tampung akan mengalir.



     Disini ku pun begitu

     Trus cintaimu di hidupku

     Di dalam hatiku

     Sampai waktu yang pertemukan

     Kita nanti



     Kini Gabriel yang melantunkan lagu itu. Dan entah angin apa yang membuat mereka akhirnya berpandangan. Gabriel yang menatap mata Shilla dan begitupun sebaliknya. Keduanya mencari sebuah jawaban atas apa yang sebenarnya mereka cari selama ini yaitu ketulusan.

     Tapi Shilla tak pernah mau menatap mata Gabriel lebih lama. Hanya beberapa detik, Shilla langsung memalingkan wajah.



     ''Shil'' Gabriel mengenggam erat jemri Shilla. Lalu mencium punggung tangan Shilla. Satu tangannya beralih ke rambut Shilla. Membelai rambut Shilla yang terkena terpaan ombak.

     ''biarkan aku mencintaimu dalam hatiku'' kata Gabriel dan masih menatap Shilla, tajam.



     Shilla mengangguk lemah. Bukan ini yang dia inginkan. Bukan cinta dalam hati. Tapi cinta yang nyata. Sebuah cinta yang terungkap. Tapi apa daya, bukan takdir cinta mereka untuk bersama.



     ''mungkin Tuhan tidak mencantumkan namaku dan namamu dalam satu kertas takdir yang sama, tapi aku yakin dalam kertas yang lain Tuhan telah menuliskan siapa yang terbaik untukku dan untukmu Iel'' kata Shilla.

     ''yah. Tapi ketika nama kita tercantum dalam satu lembar kertas yang sama, aku percaya bahwa Tuhan punya cara untuk mempersatukan kita'' kata Gabriel.



     ''Shill'' panggil Alvin dari kejauhan. Sontak, Gabriel menegakkan duduknya. Menghela nafas panjang dan menghembuskannya dalam satu hentakkan.



     Alvin mendekat membawa dua botol softdrink. Satu telah dibuka dan satu yang lain masih tersegel. Alvin lalu duduk di samping Shilla dan Gabriel, lebih tepatnya di tengah-tengah Shilla dan Gabriel.



     ''mau Iel?'' tawar Alvin pada Gabriel sambil menyodorkan satu botol softdrink yang masih tersegel.

     Gabriel menggeleng lemah, ''buat Shilla aja'' lanjutnya.

     ''nih!!'' Alvin memberikan softdrink tadi pada Shilla. Shilla mengangguk dan mengambilnya. Lalu detik berikutnya, minuman itu telah diminumnya.



     Diam. Tak ada yang berbicara. Hanya deburan ombak dan hempasan angin yang ada. Langit benar-benar menggelap dan bintang mulai bermunculan.



     ''kita masuk aja yuk Shil. Udah malem. Angin malem gak baik'' kata Alvin. Menarik tangan Shilla pelan. Dan menit berikutnya keduanya telah berjalan menuju penginapan mereka, meninggalkan Gabriel yang masih duduk di pantai.



     Malam penuh bintang dan bulan sabit yang seakan membentuk sebuah senyum. Shilla menatap langit dari balkon. Hempasan angin dari arah yang berlawanan, menerpa rambut Shilla yang tergerai. Pikirannya jauh, melambung. Menuju satu waktu dimana semuanya mulai terjadi. Waktu dimana takdir sepertinya tak berpihak padanya dan cintanya. Waktu dimana semuanya belum bisa dia terima bahkan sampai sekarang. Waktu dimana cinta pertamanya tak bisa dia miliki. Waktu dimana semuanya dimulai.



    ''kamu tahu bahwa apa yang kamu inginkan tak harus terpenuhi, Shilla?'' tanya mama Shilla pelan.

    Shilla mengangguk. Tapi masih belum tahu kemana arah tujuan perbincangan ini.

    ''mama tahu kamu dekat dengan Gabriel, dan mama juga merasa bahwa kalian saling menyayangi. Lebih dari sekedar teman. Iya kan?''

    Shilla diam. Tapi dalam hati, ia mengiyakan apa pertanyaan mamanya itu.

    ''tapi kamu harus tahu Shilla, bahwa kamu gak akan dan gak boleh memiliki Gabriel'' kata mama pelan, seakan tak ingin membuat anak sulungnya itu terkejut dan kecewa.

    ''kenapa ma?'' tanya Shilla pelan.

    ''dia telah dijodohkan dengan Sivia'' kata mama Shilla makin pelan.

    Sivia? Sebuah nama yang tak asing lagi untuk Shilla. Sivia adalah sepupunya sekaligus sahabatnya. Sivia? Orang yang akan bersama Gabriel? Dan sepertinya, Shilla tak akan mampu menerima kenyataan ini.

   ''opamu yang menjodohkan'' lanjut mama Shilla.

  ''kenapa bukan Shilla ma? Opa Via juga Opa Shilla juga kan?'' pertanyaan dengan nada kecewa terlontar dari bibir Shilla. Seakan benar-benar tidak terima dengan keputusan Opanya itu.

  ''karena Sivia lebih tua dari kamu sayang'' mama Shilla membelai rambut anaknya itu seakan ingin memberi sedikit kekuatan.

  ''hanya beda 2 bulan, mama'' Shilla mulai menangis. Namun mamanya menghapus air mata yang membasahi pipi putrinya itu.

  ''ada yang lebih baik buat kamu daripada Gabriel'' kata mama Shilla lalu mendekap Shilla. Memberi lebih banyak kekuatan.



     Shilla menghembuskan nafas panjang. 3 tahun yang lalu, dimana dia tahu bahwa garis takdirnya tak mempersatukan dirinya dan Gabriel. Dan sekarang ada Alvin yang dengan tulus mencintainya. Tapi sampai sekarang, dia belum mampu untuk membalas cinta Alvin. Dia menerima Alvin, agar dia bisa melupakan Gabriel dan membuka hati, tapi sampai sekarang Alvin adalah pelarian. Tak ada rasa cinta sedikitpun yang mampu Shilla berikan karena satu hal, Gabriel yang masih setia mengisi setiap relung hatinya.



     Alvin duduk di kasurnya sambil memperhatikan Gabriel yang sedari tadi memegangi kalung yang dia pakai. Alvin tahu bahwa kalung yang dikenakan Gabriel adalah sama seperti kalung yang Shilla pakai. Alvin pernah bertanya pada keduanya tentang kalung itu, dan jawabannya adalah hanya kalung persahabatan. Tapi sebegitu berartinyakah kalung 'persahabatan' itu? Sampai Gabriel terus memperhatikan kalung itu. Padahal seharusnya dia lebih memandangi cincin pertunangannya yang harusnya lebih berarti itu dari pada memandangi sebuah kalung persahabatan.



     ''kok lo ngliatin kalungnya gitu banget Iel?'' tanya Alvin.

     ''kayaknya biasa aja'' jawab Gabriel, tetap memandang kalung yang berbandul AG itu.

    ''ya kenapa lo gak ngliatin cincin pertunangan lo itu? Bukannya itu lebih berharga?'' tanya Alvin datar.

    ''bukannya persahabatan lebih berharga?'' tanya Gabriel balik.

    ''jadi lo lebih memilih kehilangan tunangan lo ketimbang sahabat lo?'' Alvin mulai pake nada tinggi.

    ''kalo gue bisa milih ya gue bakal milih gitu'' jawab Gabriel yang sukses membuat Alvin tercengang. Segitu berharganya Shilla?



     Dan Gabriel, tetap memandang bandul AG itu. Semua sepertinya terekam jelas dalam bandul itu. Ashilla-Gabriel. Semua tersimpan dalam bandul itu. Karena bandul itu bagaikan saksi bisu cinta yang sebenarnya masih ada diantara keduanya.



     ''jangan pernah dilepas Shill. Karena ini adalah tanda bahwa aku akan selalu di sampingmu'' kata Gabriel sambil memakaikan kalung berbandul GA di leher Shilla.

     ''iya. Kamu juga ya?!'' kata Shilla lalu gantian memakaikan kalung dengan bandul AG.



     ''aku akan jaga kalung ini Shill karena kalung ini punya banyak kenangan antara aku dan kamu'' batin Gabriel lalu mencium kalung itu. Lalu gantian Gabriel mencium kalung salib yang selalu menggantung di lehernya.



_^



     Sivia memandangi pantai lepas. Entah apa yang dia pikirkan, namun yang jelas pikirannya kosong. Matanya benar-benar menuju laut lepas yang tak tau ujungnya.



     Tiba-tiba, Gabriel berada di belakang Sivia dan memeluk pinggangnya. Desah nafas Gabriel begitu terasa di telinga Sivia, namun Sivia tak beranjak. Tetap diam pada pikirannya sendiri.



     ''kamu kenapa?'' tanya Gabriel lembut.

    Sivia diam.

    ''sayang, kamu kenapa?'' tanya Gabriel lagi.

    Kali ini, Sivia menggeleng.

    ''kamu ngomong aja sama aku!!'' kata Gabriel, sambil satu tangannya membelai rambut panjang Sivia.

    ''gak papa kok. Aku gak kenapa-kenapa. Kamu gak usah khawatir'' kata Sivia.

     Gabriel mendekap Sivia makin erat. Meskipun sebenarnya setengah hati Gabriel belum sepenuhnya menjadi milik Sivia tapi inilah cara Gabriel untuk terus mencoba mencintai Sivia. Seseorang yang akan mendampingi hidupnya nanti.



    Shilla yang belum lama ada di belakang mereka-GabrielSivia-merasa sesak. Sakit. Matanya penuh. Kecewa. Dan akhirnya menangis. Berlari ke kamar.



    ''aku tahu Iel, kita sama-sama mencoba melupakan satu sama lain. Tapi gak semudah itu aku melupakan kamu. Meskipun 3 tahun aku mencoba, tapi sampai sekarang aku masih belum bisa melupakan semua tentang kamu. Andai kamu tahu Iel, aku selalu mencoba meski aku gak tahu butuh waktu berapa lama untuk terus berusaha. Aku sayang kamu Gabriel'' kata Shilla dan diakhiri dengan ciuman kecil pada bandul GA miliknya.



     Shilla memilih untuk menata pakaiannya. Nanti sore mereka akan kembali ke Jakarta. Mereka ke Jogja untuk liburan. Sekedar melepas lelah. Dan Shilla pikir bahwa waktu 3 hari di Jogja ini justru semakin membuatnya terluka. Semakin banyak yang tak bisa dia lupakan di sini. Semuanya serasa muncul kembali. Perasaannya yang harus dikuburnya. Tapi tak bisa, perasaan itu malah semakin datang dan terasa menghantui.



     Begitupun Gabriel. Meskipun selalu menunjukkan kemesraaan pada Sivia, tapi itu hanyalah kamuflase untuk menutupi semuanya. Rasa semu yang dia hadirkan senyata mungkin. Gabriel tahu, bahwa Sivia juga mengetahui tentang kedekatannya dengan Shilla dulu. Makannya Gabriel lebih hati-hati, karena dia tak mau menyakiti Sivia.



_^



     Hal yang setiap malam Shilla lakukan adalah menatap langit. Tapi kali ini, bukan langit yang penuh bintang dan sebuah bulan yang terang melainkan langit hitam yang sepertinya akan turun hujan.



     Mata Shilla menerawang jauh. Lalu menatap figura di tangannya. Dia-Gabriel-Sivia-Alvin. Liburan di Jogja kemaren. Gabriel yang mengeratkan tangannya pada pinggang Sivia dan Alvin yang merangkul pundaknya. Semua terasa bahagia, padahal andai semua terungkap ini hanyalah kebohongan.



     ''Shill'' panggil Sivia lalu mendekat ke arah Shilla. Menyenderkan tubuhnya pada pagar pembatas balkon lalu menatap Shilla.

     ''gue boleh minta sesuatu gak sama lo?'' tanya Sivia. Shilla mengangguk tanpa kata.

     ''lepasin kalung berbandul GA milik lo. Dan gue mohon jauhin Gabriel'' kata Sivia datar dan tenang. Dan Shilla langsung menggeleng.

     ''untuk yang kedua gue bisa, tapi yang pertama gue gak bisa Vi'' kata Shilla berusaha tetap tenang.

    ''kenapa? Cuma kalung persahabatan kan?'' tanya Sivia yang seakan menyudutkan Shilla.

    ''justru karena kalung persahabatan itu makannya gue gak mau lepasin. Lagian kenapa mesti dilepas sih?'' tanya Shilla balik.

    ''karena gue gak suka lo terus-terusan memandang kalung itu. Yah, kalung itu emang berarti tapi gue tetep gak suka'' kata Sivia.

    ''sorry Vi, gue gak bisa. Dan sekarang lo boleh ninggalin gue'' kata Shilla.

    ''oke. Tapi gue harap lo jauhin Gabriel. Demi gue Shil, sodara lo'' kata Sivia lalu beranjak pergi.



    Shilla menyadari satu hal. Bahwa Sivia tahu apa yang Shilla rasakan pada Gabriel. Dan Shilla yakin, Sivia telah meminta Gabriel untuk melakukan hal yang sama pada dirinya. Dan itu membuat Shilla sadar bahwa ruang geraknya bersama Gabriel akan semakin sempit.



    ''gue tahu kalian sama-sama punya perasaan lebih satu sama lain, tapi gue cinta sama lo Iel dan gue gak akan membiarkan Shilla memiliki elo meski hanya sebentar'' kata Sivia.



_^



    ''Alvin sayang Shilla'' kata Alvin yang ada dipangkuan Shilla di halaman belakang rumah Shilla.

   ''Shilla sayang Alvin'' kata Shilla sambil menyibakkan poni Alvin yang menutupi matanya.

   ''jangan tinggalin Alvin ya!! Termasuk buat sahabat kamu'' kata Alvin.

   ''maksud kamu?'' Shilla tampak terkejut tapi Alvin tetap tenang.

   ''ya kan ada yang bilang lebih baik kehilangan pacar daripada sahabat. Tapi aku gak mau itu Shill. Alvin terlalu sayang sama Shilla'' kata Alvin.

   Shilla mengangguk. Tahu kemana maksud perkataan Alvin barusan. Gabriel. Lagi-lagi.



   ''Alvin boleh minta sesuatu gak?'' tanya Alvin pada Shilla.

   ''apa?''

   ''sayangi Alvin seperti Alvin sayang kamu. Alvin tahu, kalo Alvin gak sesempurna yang Shilla pengen. Tapi inilah Alvin, diri Alvin bukan orang lain. Alvin mohon, Shilla sayang sama Alvin dengan tulus, karena Alvin pengen Shilla bisa ngasih itu ke Alvin'' kata Alvin, duduk menghadap Shilla dan mengenggam tangan Shilla erat.

   ''Shilla coba Vin. Shilla akan berusaha, buat Alvin'' kata Shilla.

   ''tolong, kasih tahu Gabriel kalo ada Alvin yang akan terus menjaga Shilla selama Alvin masih ada. Jadi, dia gak perlu terlalu memikirkan Shilla'' kata Alvin.

   Shilla diam. Alvin benar. Bukan dirinya yang harus Gabriel perhatikan tapi Sivia karena ada Alvin yang akan ada terus untuknya sampai nanti, sampai semua harus berakhir.



_^



    Semua memang berjalan sesuai kehendak takdir. Tak ada yang mampu dirubah karena akan terasa berbeda. Cinta tak bisa dipaksa, karena cinta hadir dari dua hati yang yang saling memiliki rasa. Tapi ketika cinta hadir diantara dua orang yang tak seharusnya bersama, maka jalan yang paling baik adalah meminta cinta itu berada dalam satu tempat terdalam dan terkubur seiring dengan waktu yang terus berjalan agar cinta itu bisa hilang dan musnah bersama kenangan, tapi ketika semua tak bisa dengan mudah kita lakukan, maka cintailah dia dalam diammu.



    ''aku rasa kita memang harus saling melupakan Iel. Kita punya kehidupan sendiri-sendiri, kita sama-sama punya takdir dan takdir yang berbeda'' kata Shilla pada Gabriel, di taman, sore hari.

   ''kamu mau mengubur cintamu?'' tanya Gabriel.

   ''ya. Dan aku akan berusaha untuk mencintai Alvin, semampuku. Aku harap, kamu bisa mencintai Sivia dengan tulus seperti apa yang dia berikan padamu. Kita cuma serpihan masa lalu yang tak perlu dirangkai kembali, karena walaupun kita berusaha tapi serpihan ini justru akan semakin menjadi butiran yang lebih halus dan pada akhirnya hanya akan menjadi debu yang tak bersisa'' kata Shilla.

   ''dan selama itulah, aku hanya akan mencintaimu dalam diam'' kata Gabriel.

  ''dan selama itulah, kita harus saling melupakan'' kata Shilla.



    Langit sore, orange-kebiruan seakan menunjukan suatu bukti bahwa memang seharusnya cinta itu tak tumbuh dihati kedua insan ini, karena buku takdir tak memihak mereka untuk bersama. Karena mereka hanyalah sebuah contoh cinta yang tak bisa bersatu.



    Bukan masalah memperjuangkan cinta, tapi mereka hanya tak mau merubah takdir yang terlah digariskan Tuhan untuk mereka. Toh mereka percaya, bila jodoh maka akan ada cara untuk bersatu. Dan ketika cara itu tak pernah ditemui, maka takdir tak memilih mereka untuk bersama.


_^
T H E     E N D


Gak seru ??

Maklum,, penulis amatiran :(


hhehe..

See You ^^